Dari sekian orang yang ada, tidak semua dapat memahami apa sebenarnya cinta itu. Cinta sememangnya sesuatu yang susah didefinisikan. Meski pun boleh dirasakan, seringkali sang pemilik rasa pun menjadi ragu, apakah yang sedang dirasakannya itu cinta? Lalu, bagaimanakah ciri seseorang mencintai sesuatu?
Adakah benar bahwa cinta tak harus memiliki. Mari bertanya pada diri sendiri, jika tidak memiliki, bagaimana cara merealisasikan cinta? Bagaimana mungkin cinta itu dapat wujud secara realiti apabila kita sendiri tidak mempunyai hak atasnya??
Pertanyaan ini muncul manakala saya rasakan ada hubungan erat dan analogi antara cinta dan keimanan. Cuba kita renungkan, manakala kita menilai diri beriman kepada Allah, pastilah iman itu didasari cinta kepada Allah. Atau sebaliknya, pastilah iman itu berbuah cinta kepada Allah. Tidak mungkin mencintai Allah jika tidak beriman kepada Allah, sebaliknya pula tidak mungkin disebut beriman kepada Allah apabila tidak mencintai Allah. Betul?
Bagaimanakah ciri-ciri orang yang mencintai Allah, sang kekasih sejati? Allah sendiri telah menyebutkan ciri orang yang mencintai-Nya, yakni dalam surah Al-Anfal ayat 2-4:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.(yaitu) orang-orang yang mendirikan solat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa darjat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia." (QS. Al-Anfal: 2-4)
Apabila difahami dapat saya gariskan poin penting seperti berikut:
1. Bila disebut nama Allah gemetarlah hatinya,
2. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya,
3. Mereka selalu bertawakal kepada Allah,
4. Mendirikan solat,
5. Menafkahkan sebagian rezeki (berinfak, sedekah).
Begitulah ciri orang yang benar-benar mencintai Allah, orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman. Tidak hanya di hati, namun juga mewujud secara serius dalam amalan yakni melakukan solat dan menafkahkan sebagian rezeki. Juga melebur menjadi ruh dalam setiap gerak dan aktivisnya, dengan ketawakalannya.
Hal ini juga relevan dengan pengertian iman. Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal 'amalu bil arkan. Iman itu meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Tidak sempurna keimanan seseorang manakala hanya berupa keyakinan di hati. Atau hanya ikrar di lisan. Atau sekadar amalan-amalan saja. Namun ketiga aspek itu haruslah ada untuk dapat menjadi keimanan yang sejati.
Begitu pula cinta. Cinta pun harusnya berupa keyakinan di hati, dapat diikrarkan oleh lisan, dan di terjemahkan dalam perbuatan. Apabila satu elemen itu tak dapat atau tak mungkin dilaksanakan, maka tak boleh disebut sebagai cinta yang sejati. Ketiga-tiganya harus ada untuk menjadi cinta yang sejati.
Bagaimana dengan cinta sesama manusia??
Bagi saya cinta antara dua insan, lelaki dan perempuan itu dikatakan sebagai cinta sejati manakala cinta itu terbingkai dalam bingkai suci dan indah, iaitu ikatan pernikahan. Kerana dengan adanya bingkai indah itu, kesempurnaan cinta dapat dilaksanakan. Selain ada di hati (bergetar hati jika disebut nama orang yang dicintainya, dan bertambah cinta bila disebutkan kebaikan dan kelebihannya), juga telah bersedia untuk diikrarkan dengan lisan serta diterjemahkan melalui amalan anggota badan. Itu bererti, bahawa cinta memang harus memiliki.
Jika cinta itu tidak berada dalam lingkungan "memiliki", dalam erti kata tidak berada dalam bingkai pernikahan, maka paling maksimum hanya dapat meyakini dalam hati. Tidak halal untuk berikrar oleh lisan, apatah lagi lebih jauh untuk memimplementasikan melalui perbuatan oleh anggota badan. Bererti, cinta itu tidak boleh dilaksanakan secara sempurna, dengan kata lain bukan cinta sejati.
Terkait dengan cinta kepada lain jenis, tidak perlu mencintai sebelum boleh memiliki. Kerana jika belum atau tidak memiliki, belum boleh melaksanakan cinta itu secara sempurna. Sehingga cinta yang dimiliki, belumlah sejati. Tapi jika berani, ya silakan. Asal siap-siap makan hati.. ^_^
Wallaahu a'lam.
Adakah benar bahwa cinta tak harus memiliki. Mari bertanya pada diri sendiri, jika tidak memiliki, bagaimana cara merealisasikan cinta? Bagaimana mungkin cinta itu dapat wujud secara realiti apabila kita sendiri tidak mempunyai hak atasnya??
Pertanyaan ini muncul manakala saya rasakan ada hubungan erat dan analogi antara cinta dan keimanan. Cuba kita renungkan, manakala kita menilai diri beriman kepada Allah, pastilah iman itu didasari cinta kepada Allah. Atau sebaliknya, pastilah iman itu berbuah cinta kepada Allah. Tidak mungkin mencintai Allah jika tidak beriman kepada Allah, sebaliknya pula tidak mungkin disebut beriman kepada Allah apabila tidak mencintai Allah. Betul?
Bagaimanakah ciri-ciri orang yang mencintai Allah, sang kekasih sejati? Allah sendiri telah menyebutkan ciri orang yang mencintai-Nya, yakni dalam surah Al-Anfal ayat 2-4:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.(yaitu) orang-orang yang mendirikan solat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa darjat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia." (QS. Al-Anfal: 2-4)
Apabila difahami dapat saya gariskan poin penting seperti berikut:
1. Bila disebut nama Allah gemetarlah hatinya,
2. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya,
3. Mereka selalu bertawakal kepada Allah,
4. Mendirikan solat,
5. Menafkahkan sebagian rezeki (berinfak, sedekah).
Begitulah ciri orang yang benar-benar mencintai Allah, orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman. Tidak hanya di hati, namun juga mewujud secara serius dalam amalan yakni melakukan solat dan menafkahkan sebagian rezeki. Juga melebur menjadi ruh dalam setiap gerak dan aktivisnya, dengan ketawakalannya.
Hal ini juga relevan dengan pengertian iman. Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal 'amalu bil arkan. Iman itu meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Tidak sempurna keimanan seseorang manakala hanya berupa keyakinan di hati. Atau hanya ikrar di lisan. Atau sekadar amalan-amalan saja. Namun ketiga aspek itu haruslah ada untuk dapat menjadi keimanan yang sejati.
Begitu pula cinta. Cinta pun harusnya berupa keyakinan di hati, dapat diikrarkan oleh lisan, dan di terjemahkan dalam perbuatan. Apabila satu elemen itu tak dapat atau tak mungkin dilaksanakan, maka tak boleh disebut sebagai cinta yang sejati. Ketiga-tiganya harus ada untuk menjadi cinta yang sejati.
Bagaimana dengan cinta sesama manusia??
Bagi saya cinta antara dua insan, lelaki dan perempuan itu dikatakan sebagai cinta sejati manakala cinta itu terbingkai dalam bingkai suci dan indah, iaitu ikatan pernikahan. Kerana dengan adanya bingkai indah itu, kesempurnaan cinta dapat dilaksanakan. Selain ada di hati (bergetar hati jika disebut nama orang yang dicintainya, dan bertambah cinta bila disebutkan kebaikan dan kelebihannya), juga telah bersedia untuk diikrarkan dengan lisan serta diterjemahkan melalui amalan anggota badan. Itu bererti, bahawa cinta memang harus memiliki.
Jika cinta itu tidak berada dalam lingkungan "memiliki", dalam erti kata tidak berada dalam bingkai pernikahan, maka paling maksimum hanya dapat meyakini dalam hati. Tidak halal untuk berikrar oleh lisan, apatah lagi lebih jauh untuk memimplementasikan melalui perbuatan oleh anggota badan. Bererti, cinta itu tidak boleh dilaksanakan secara sempurna, dengan kata lain bukan cinta sejati.
Terkait dengan cinta kepada lain jenis, tidak perlu mencintai sebelum boleh memiliki. Kerana jika belum atau tidak memiliki, belum boleh melaksanakan cinta itu secara sempurna. Sehingga cinta yang dimiliki, belumlah sejati. Tapi jika berani, ya silakan. Asal siap-siap makan hati.. ^_^
Wallaahu a'lam.